Kebajikan: Sebuah Dialog Aporetik Sokrates
Salah satu khazanah filsafat Yunani adalah peninggalan akan kerangka-kerangka filsafat dan logika yang terus dikembangkan hingga abad modern ini. Salah satunya adalah soal apa itu kebajikan. Perbincangan tentang kebajikan (virtue) diulas dalam bentuknya yang masih virgin dalam dialog Meno oleh Platon. Tulisan ini menghadirkan bagaimana perdebatan sengit berlangsung antara Meno dan Sokrates, sang tokoh utama di ring dialog. Dan bagaimana akhirnya Platon menunjukkan apa sebenarnya kebajikan itu.
Sebuah Preview
Sebagai pukulan jap-jap awal layaknya olahraga tinju. dialog ini dibuka dengan tokoh Meno yang mempertanyakan apakah kebajikan diperoleh dengan pembelajaran (teaching) atau praktik (practice), didapat secara alamiah atau melalui upaya belajar? Menjawab pertanyaan ini, sebagaimana gaya dialog Sokrates, ia menghindar dan menyatakan tidak tahu apa-apa. Lalu mengajak Meno untuk mendiskusikan secara lebi sengit lagi apa itu kebajikan, dengan mempertimbangkan kembali ujaran-ujaran Gorgias, salah seorang tokoh sophis yang terkenal sebagai pengujar kebajikan di Athena.
Meno melontarkan beberapa definisi kebajikan yang cukup telak, namun dengan caranya yang khas, Sokrates memproblematisasi setiap definisi sehingga tampak kelemahan dari setiap definisi yang diajukan. Lalu Meno mengajukan jawaban definisi berbeda sebagai pukulan dari sisi yang lain, tetapi dihalau lagi dengan “double cover” yang rapat oleh Sokrates, dan begitulah seterusnya jual-beli argumen berlangsung hingga seakan tak ada definisi tentang kebajikan yang dicapai dalam diskusi itu. Diskusi seakan mengalami jalan buntu tanpa kesimpulan (aporetik). Walaupun pada akhirnya Sokrateslah pemenangnya, karena ia berhasil menunjukkan bahwa tak ada satu orangpun yang paling tahu dan benar dalam mendefinisikan kebajikan.
Jual-Beli Argumen
Selama proses dialog, Meno melepaskan tiga definisi penting tentang kebajikan. Dalam definisi pertama, dia menautkan antara manusia dengan kemampuan mengatur negara, serta dalam menata negara bagaimana mengayomi kawan-kawannya dan menumpas lawan-lawannya. Dia berkata:
Mula-mula, mari kita mulai dari kebajikan seorang manusia (laki-laki)−dia harus mengetahui bagaimana mengatur negara. Dalam pemerintahannya (administration) menguntungkan teman-temannya dan mengancam lawan-lawannya; dia juga harus berhati-hati untuk tidak menjerumuskan dirinya dalam mara bahaya. Sementara kebajikan seorang wanita, jika kamu ingin mengetahui tentangnya, juga dapat dideskripsikan dengan mudah: tugasnya adalah untuk mengatur rumah, dan menjaga apa yang ada di dalamnya, serta mematuhi suaminya.[1]
Jawaban pertama ini disayangkan oleh Sokrates sebagai jawaban yang tidak tepat sasaran, karena membelah-belah kebajikan pada laki-laki dan perempuan. Padahal sebetulnya yang dipersoalkan adalah apa itu kebajikan, bukan bagian-bagian kebajikan. Yang ditanyakan adalah tawon tetapi Meno menjawab dengan ada sekerumunan tawon, demikian Sokrates. Meno kemudian beranjak pada definisi kedua: bahwa kebajikan adalah kekuatan untuk mengatur umat manusia (virtue is the power of governing mankind).
Namun “upper cut” ini juga berhasil ditangkis oleh Sokrates dengan mempertanyakan apakah kekuatan mengatur ini ada pada semua orang. Jika iya, berarti anak boleh mengatur orang tuanya, hamba boleh mengatur junjungannya, dan budak dapat mengatur tuannya. Tetapi jika tidak, maka berarti definisi ini tidak berlaku umum.[2] Definisi kedua mengalami sebuah dilema.
Katakanlah jawaban pertama dan kedua sebagai satu upaya awal, namun, menurut Sokrates, tetap saja problematis karena dalam mengatur negara dan manusia memerlukan karakter lainnya yaitu kesederhanaan, keadilan, keberanian, dst. Pertanyaannya apakah kesederhanaan, keadilan, dst adalah “sebuah kebajikan” atau “kebajikan”? Jika “sebuah kebajikan”, maka “mengetahui bagaimana mengatur negara” bukan kebajikan (dalam arti universal) melainkan sebuah kebajikan saja (partikular).
“Mengetahui bagaimana mengatur negara” tidak mesti berarti kebajikan. Karena itu perlu definisi yang lebih umum yang dapat mencakup semua partikularitas-partikularitas kebajikan. Sehingga kebajikan sebagai genus dari spesies berbagai “sebuah kebajikan” seperti “mengetahui mengatur negara”, keadilan, kesederhanaan, keugaharian, keberanian, rasa persahabatan, kesalehan, dst.
Sokrates melontarkan “hook” kanannya dengan analogi lingkaran sebagai “sebuah gambar” dan bukan “gambar”, karena masih banyak lagi gambar-gambar lainnya: segitiga, segi empat, trapesium, dst. Atau putih sebagai “sebuah warna” bukan “warna”, karena masih banyak warna-warna yang lain. Jadi lingkaran adalah bukan gambar melainkan sebuah gambar, dan putih adalah bukan warna melainkan sebuah warna. Dengan proses logika yang sama, maka keadilan adalah bukan kebajikan melainkan sebuah kebajikan, begitu juga keberanian adalah bukan kebajikan melainkan sebuah kebajikan, dst. Lalu apa itu kebajikan itu sendiri?
Sokrates ingin mendapatkan jawaban yang mencakup dalam arti kesatuan dalam keragaman (simile in multis) yang menyeluruh, yaitu kebajikan yang mencakup semua varian-variannya: keadilan, keberanian, keugaharian, kesederhanaan, dst? Bagi Sokrates mestinya kebajikan mencakup berbagai “sebuah kebajikan” dan bukan sebaliknya.
Jadi universalitas yang mencakup semua partikularitas, bukan sebaliknya partikularitas membungkus universalitas. Karena mendefinisikan kebajikan dengan “sebuauh kebajikan” (keadilan, keberanian, keugaharian, dst) adalah tidak tepat dan kesalahan logis. Meno mencoba memberikan definisi kebajikan ketiga yang menurutnya sudah universal yaitu:
Kebajikan sebagaimana aku pahami adalah ketika dia berhasrat pada pujian, dan dapat mencapainya untuk dirinya sendirinya; begitulah pujangga mengatakan dan aku setuju−“kebajikan adalah hasrat akan sesuatu yang terpuji dan kekuatan untuk memperolehnya.”[3]
Sokrates menggiring lagi definisi ini pada satu problematika. Dia memetakan jawaban itu menjadi dua premis yaitu: “hasrat akan sesuatu yang terpuji” dan “kekuatan untuk memperolehnya” untuk memudahkan dalam menganalisa. Dia kemudian menyoal pada premis pertama dengan pertanyaan apakah dia yang berhasrat pada pujian menginginkan kebaikan atau keburukan? Bagaimana memastikan yang diinginkan sebagai yang terpuji?
Dari dua pertanyaan ini Sokrates kemudian menunjukkan bahwa keburukan itu kadang adalah kebaikan bagi yang menginginkannya karena menguntungkan. Malah banyak yang melakukan keburukan tetapi menganggap diri telah melakukan kebaikan. Sampai disini “sesuatu yang terpuji” menjadi tidak jelas standarnya.
Kemudian Sokrates melanjutkan analisnya pada premis kedua: “kekuatan untuk memperolehnya”. Pertanyaannya, apakah kekuatan yang digunakan untuk memperoleh kebaikan? Apakah keadilan, keugaharian, keberanian dan seterusnya senantiasa menyertai dalam memperoleh kebaikan itu? Maka tentu saja jawab Meno, karena mana mungkin ada kebajikan tanpa digapai melalui cara yang baik. Disinilah Sokrates kembali menemukan kelemahan premis Meno yang kedua ini. Jika apa-apa yang digapai dengan keadilan adalah kebajikan, berarti sama saja dengan menempatkan keadilan sebagai kebajikan.
Padahal diawal sudah ditentang bahwa keadilan dan sejenisnya bukan “kebajikan” melainkan “sebuah kebajikan”, tidak bisa setiap tindakan yang dilakukan dengan satu bagian kebajikan lantas menjadi kebajikan itu sendiri. Artinya Meno belum beranjak dari definisi awalnya tentang kebajikan yang masih partikular, dengan demikian dia tidak menemukan definisi kebajikan yang universal.
Sampai disini diskusi soal kebajikan sebetulnya berakhir secara aporetik. Meno kemudian menyarankan Sokrates untuk tidak keliling Athena karena banyak orang yang tidak suka dengan cara diskusi “abai Sokratek” ala Sokrates. Dan jika dipaksakan akan membahayakan nyawa Sokrates sendiri.
Hasil Akhir
Kita masih pada pertanyaan awal: apa kebajikan itu? Kita sebagai pembaca tidak akan menemukan definisi Sokrates yang eksplisit soal kebajikan dalam dialog-dialog Platon. Apakah Platon tidak punya definisi kebajikan dari Sokrates? Tidak demikian jelasnya. Karena lewat dialog Meno, Platon secara implisit menempatkan cara-cara Sokrates sebagai kebajikan itu sendiri. Sokrates menyatakan demikian:
Temanku, jangan berharap bahwa kita dapat menjelaskan pada orang lain tentang hakikat kebajikan sebagai keseluruhan melalui bagian kebajikan yang tak terjelaskan, atau juga tidak bisa menjelaskan apapapun dengan sesuatu yang tak terjelaskan; kita hanya dapat bertanya lagi dari keseluruhan pertanyaan tadi, apa itu kebajikan? Apakah aku salah?[4]
Jadi, kebajikan—sebagaimana dicitrakan lewat sosok Sokrates—adalah menunjukkan diri bahwa dirinya tidak tahu. Kebajikan bukanlah sok tahu tetapi sebetulnya tidak tahu. Itulah posisi Sokrates terhadap setiap orang yang merasa paling tahu dan paling bijak, dan akhirnya tidak dapat memberikan penjelasan apa-apa tentang kebijakan, seperti Meno. Itulah kebajikan yang sesungguhnya yang telah ditunjukkan oleh Platon dalam dialog Meno ini.
[1] Let us take first the virtue of a man—he should know how to administer the state, and in the administration of it to benefit his friends and harm his enemies; and he must also be careful not to suffer harm himself. A woman’s virtue, if you wish to know about that, may also be easily described: her duty is to order her house, and keep what is indoors, and obey her husband. (Meno, diterjemahkan Benjamin Jowett)
[2] Tatanan masyarakat dimana Plato hidup adalah masyarakat perbudakan dimana budak harus patuh pada majikan yang memilikinya. Dengan mengembalikan pada realitas seperti ini maka Sokrates menyerang definisi Meno tentang kebajikan
[3] Virtue, as I take it, is when he, who desires the honourable, is able to provide it for himself; so the poet says, and I say too—‘Virtue is the desire of things honourable and the power of attaining them.’(Meno)
[4] My friend, do not suppose that we can explain to any one the nature of virtue as a whole through some unexplained portion of virtue, or anything at all in that fashion; we should only have to ask over again the old question, What is virtue? Am I not right? (Meno)
Komentar
Posting Komentar