Musuh Bersama Kita: Rezim Pedagang Dengan Watak Represif


Rizal Assalam
Kader PRP Komite Kota Depok


Sebagai seorang yang memiliki latarbelakang sebagai pedagang (Jokowi ini dulunya pengusaha mebel), [1] Jokowi tampaknya sangat memahami apa yang dibutuhkan bagi pengusaha. Hal ini terlihat bagaimana di masa pemerintahan Jokowi kita banyak menyaksikan kebijakan-kebijakan ekonomi yang pro-modal. Apa yang kita saksikan sepanjang masa pemerintahannya yang telah melewati satu tahun adalah betapa Jokowi berusaha untuk memenuhi kebutuhan pemodal.

Di awal masa pemerintahannya, misalnya, dalam pertemuan antara petinggi-petinggi ( Chief Excutive Officer ) APEC, Jokowi terlihat mempromosikan Indonesia kepada bos-bos perusahaan multinasional. Tidak hanya KTT APEC, pada pertemuan di KTT ASEAN, dan G-20, di semua forum internasional itu, Jokowi secara eksplisit mempromosikan Indonesia dan mengundang pihak luar untuk berinvestasi. Dengan membuka lebar kesempatan bagi investor, Jokowi berjanji akan menyelesaikan masalah yang sering dihadapi investor asing di Indonesia, seperti sulitnya akuisisi lahan dan perizinan. [2] Segala akses dan kemudahan akan dipersembahkan agar pemodal bersedia untuk berinvestasi di Indonesia.

Jika untuk bisnis, Jokowi tampaknya merupakan pribadi yang kata-katanya bisa dipegang. Apa yang diucapkannya bukanlah harapan palsu. Tanpa berlama-lama, pemerintahan di bawah rezim Jokowi ini membuktikan kata-katanya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan yang memenuhi kebutuhan pemodal. Kesemua kebijakan ekonomi tersebut pada intinya berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi swasta dan Negara lain.

Kebijakan ini merentang dari penyediaan buruh murah, kemudahan akses atas Sumber Daya Alam, surga pajak, infrastruktur yang mendukung, dan pemangkasan perizinan. Beberapa dari kebijakan ini dapat diblejeti untuk melihat usaha-usaha pemerintah dalam memenuhi harapan investor. Terkait penyediaan buruh murah misalnya, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pengupahan melalui PP 78/2015 yang berkecenderungan menekan upah buruh. 

Sebagaimana kita ketahui, upah buruh yang murah merupakan salah satu faktor pendorong investasi.
Di rezim Jokowi juga direncanakan adanya kebijakan pengampunan pajak ( tax amnesty ) bagi yang memindahkan dana kekayaannya ke Indonesia. [3] Realisasi atas kebijakan ini akan menjadikan Indonesia sebagai negeri surga pajak. Prosedur perizinan investasi juga dipermudah, seperti pelayanan investasi tiga jam untuk mendapatkan izin prinsip, akta perusahaan, dan nomor pokok wajib pajak (NPWP), termasuk juga berbagai izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan ratusan paket kebijakan lainnya yang akan dikeluarkan yang, tentunya, masih dalam rangka memastikan pertumbuhan ekonomi. [4]
Bukti pendukung di atas menunjukkan karakter pedagang dari pemerintahan Jokowi saat ini. 

Seorang pedagang dengan pasti mendasari logikanya pada keuntungan. Sementara bagi pemerintahan saat ini dengan karakter pedagang, keuntungan dimaknai sebagai kesuksesan pembangunan dengan indikator pertumbuhan ekonomi. Tentunya, pembangunan tersebut tidak ditujukan pada kepentingan orang banyak sebagaimana yang diklaim selama ini. Indikasinya jelas, seperti tingkat kesenjangan yang semakin melebar, kesulitan akses penghidupan bagi rakyat pekerja, dan kondisi hidup yang semakin tidak pasti (precarious ).

Dalam logika pedagang, unsur penting dalam memastikan keuntungan dapat berjalan adalah adanya kepastian bisnis. Dalam bahasa politik, kepastian bisnis ini diartikan dalam bentuk stabilitas politik. Hal ini dapat kita ketahui seperti pada rezim pedagang sebelum periode Reformasi: rezim Orde Baru.

Menurut Hadiz dan Bourchier, ideologi yang mendasari Orde Baru adalah ‘organisisme’ yang dicirikan oleh politik ketertiban dan harmonisasi. [5] Bentuk politik Orde Baru tersebut pada dasarnya menutup ruang demokrasi bagi masyarakat. Masih menurut Hadiz dan Bourchier, bentuk politik dari ideologi Orde Baru tersebut pada dasarnya terkait dengan upaya untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses akumulasi kapital, bahwa untuk mencapai pembangunan ekonomi dan modernisasi, maka pengaruh ideologi dan pertempuran politik harus ditekan. Dalam kerangka ini, maka seolah masyarakat tampak harmonis karena berbagai bentuk konflik yang sebenarnya bersifat laten ditekan.

Apa yang berubah dari periode Reformasi, dengan pemerintahan Jokowi saat ini, dengan periode Orde Baru?

Nyaris tidak ada. Pada esensinya, kedua periode tersebut memiliki karakter pedagang. Dengan demikian, melihat bentuk politik yang berlaku pada periode Orde Baru, maka dapat dikatakan bahwa bentuk politik serupa juga berlaku saat ini.
Lalu, apa kecenderungan terkait penutupan ruang demokrasi yang terjadi dalam rezim pedagang pemerintahan Jokowi saat ini?
Penutupan ruang demokrasi dapat merentang secara luas. Dalam satu hal, penutupan ruang demokrasi dapat berarti pembatasan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan tuntutannya. Sebagai contoh, Pergub No. 288 tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka yang belakangan dikeluarkan oleh Plt Gubernur DKI Jakarta, Ahok, memuat kecenderungan tersebut.[6] Dari pemilihan judul peraturan pun bermasalah karena memuat logika bahwa penyampaian pendapat harus dikendalikan . Apabila dari pemilihan judul bermasalah, maka hampir dipastikan bahwa secara substansi peraturan tersebut jauh lebih bermasalah lagi.

Dalam Pergub tersebut, bahkan cara-cara penyampaian pendapat pun diatur. Hal ini misalnya dalam Pasal 6 butir e peserta aksi dilarang untuk melakukan konvoi atau pawai. Pasal 6 butir c juga mengatur bahwa peserta demonstrasi harus mematuhi batas maksimal baku kebisingan penggunaan pengeras suara agar tidak melebihi 60 desibel. Selain tata cara penyampaian pendapat, Pergub juga membatasi waktu pelaksanaan aksi unjuk rasa di jalan dengan memperbolehkan waktu pelaksanaan antara pukul 06.00-18.00 WIB.

Pada umumnya, aparatus yang bertugas dalam menjaga stabilitas politik adalah militer dan polisi. Hal ini dapat dilihat melalui aturan dalam Pergub yang memberikan kewenangan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) untuk mengarahkan atau melakukan pembubaran terhadap aksi-aksi demonstrasi yang tidak berjalan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pergub.

TNI dan POLRI juga diamanatkan untuk mengkoordinasikan mediasi antara peserta demonstrasi dan perwakilan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Terdapat berbagai contoh kasus yang menunjukkan keterlibatan TNI dan POLRI sebagai cerminan respon represif pemerintahan dalam menutup ruang demokrasi. Hal ini dicontohkan melalui adanya Nota Kesepahaman (MoU) antara Kemenkumham dengan TNI. Salah satu klausul yang terdapat di dalamnya adalah memberi kontribusi dalam terciptanya
keamanan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. [7] Hal ini juga terjadi pada Kemenhub yang melibatkan TNI dalam pengamanan objek-objek vital—yang sebagaimana kita ketahui objek yang dimaknai vital ini lebih terkait pada kepentingan modal.

Nota kesepahaman ini menguatkan kecenderungan represif dan pelanggaran HAM yang terjadi selama ini, seperti kekerasan dan penangkapan yang dialami oleh buruh dan aktivis pada saat menuntut pencabutan PP Pengupahan pada tanggal 30 Oktober 2015 yang lalu. Hal ini juga terjadi di berbagai contoh kekerasan lainnya yang melibatkan TNI dan POLRI. Selain itu, terdapat berbagai peraturan yang dapat menutup ruang demokrasi, seperti UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Ormas, UU Intelijen, dan RUU Keamanan Nasional. Melalui aturan-aturan tersebut, maka tindak represif aparat akan mendapatkan perlindungan hukum.
Berdasarkan contoh kasus di atas, maka suatu rezim yang berkarakter pedagang hampir bisa dipastikan akan diiringi dengan represi bagi masyarakat dan penutupan ruang demokrasi. Salah satu bentuknya dalam contoh kasus Indonesia adalah menguatnya militerisme seperti yang dicontohkan pada keterlibatan TNI dan POLRI.

Contoh-contoh di atas harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu suatu rezim yang memiliki karakter pedagang. Dalam contoh kasus Pergub, meskipun Pergub tersebut berada di tingkatan politik lokal (provinsi), namun keberadaan Pergub tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks politik yang lebih luas di tingkatan nasional. Kegagalan dalam melihat konteks yang lebih luas, juga akan menjebak rakyat pekerja pada ilusi pemerintah.
Ilusi ini seperti klaim bahwa, “pembangunan infrastruktur ditujukan untuk kepentingan rakyat”, “pertumbuhan ekonomi akan menyejahterakan rakyat”, “demonstrasi diatur untuk menjaga ketertiban umum dan mencegah kemacetan” . 

Klaim-klaim ini pada dasarnya ilusi untuk mengelabui rakyat pekerja, melihat bagaimana apa yang dinyatakan pemerintah bertentangan dengan kenyataan yang ada: pembangunan infrastruktur ditujukan untuk menarik dan memfasilitasi investor, pertumbuhan ekonomi nyatanya menciptakan kesenjangan, kemacetan tetap terjadi terlepas ada atau tidaknya demonstrasi.

Melihat bagaimana jalinan relasi antara ekonomi dan politik di atas, maka yang berkepentingan atas penghapusan karakter pedagang dalam suatu rezim adalah seluruh rakyat tertindas, baik di desa atau di kota. Hal ini melihat kecenderungan politik yang represif merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dari suatu rezim pedagang. Dengan kata lain, tuntutan penghapusan watak represif negara terhadap rakyat merupakan tuntutan segenap rakyat pekerja, baik itu, buruh, tani, nelayan, masyarakat miskin kota, perempuan, masyarakat adat atau masyarakat sipil aktivis pejuang demokrasi. Artinya, diperlukan penyatuan kekuatan yang lebih luas melihat adanya musuh bersama yang dihadapi: rezim pedagang yang berwatak represif.

Penyatuan kekuataan ini tidak lain adalah untuk merebut kembali negara dari kendali kelas penindas. Tujuan ini tidak terhindarkan melihat bagaimana negara menjadi pangkal represivitas yang dialami selama ini.

Upaya merebut kembali negara, tidak bisa tidak, harus diwujudkan dalam bentuk partai politik rakyat pekerja yang menyatukan berbagai elemen kelas yang ditindas. Wujud ini menjadi penting ketika kita berbicara bentuk demokrasi saat ini yang menjadikan partai politik sebagai kendaraan utama untuk merebut kekuasaan dari kelas penindas. Selain itu, arti penting partai politik di sini adalah sebagai wadah bersama dalam rangka menyatukan kekuatan yang lebih besar. Untuk itu,
“Satukan kekuatan melalui partai politik rakyat pekerja! Lawan rezim pedagang dengan watak represif!”

Catatan:
[1] “Sejarah Singkat Kisah Hidup Jokowi – Presiden Indonesia ke-7”, http://www.portalsejarah.com/sejarah-singkat-kisah-hidup-jokowi-presiden-indonesia-ke-7.html

[2] “Jokowi Janjikan Perizinan Mudah di APEC CEO Summit”,
http://bisnis.tempo.co/read/news/2014/11/10/090620821/jokowi-janjikan-perizinan-mudah-di-apec-ceo-summit

[3] “Tax Amnesty Bagi yang Memindahkan Dana ke Indonesia”,
http://katadata.co.id/infografik/2015/06/01/tax-amnesty-bagi-yang-memindahkan-dana-ke-indonesia#sthash.UpAttyBG.IrDBqBNB.dpuf

[4] “Jokowi Sebut Siapkan Ratusan Paket kebijakan Ekonomi”
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/10/23/nwmvxq382-jokowi-sebut-siapkan-ratusan-paket-kebijakan-ekonomi

[5] Lihat David Bourchier dan Vedi R. Hadiz, Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 (Tina Hayatri, Penerjemah), Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2006, halaman 11-12.

[6] Lihat “Pembatasan Demokrasi oleh Pergub DKI Jakarta Tentang Pengendalian Penyampaian Pendapat di Muka Umum”, http://www.bantuanhukum.or.id/web/pembatasan-demokrasi-oleh-pergub-dki-jakarta-tentang-pengendalian-penyampaian-pendapat-di-muka-umum/

[7] “Menkumham dan Panglima TNI Tandatangani Nota Kesepahaman”, http://www.kemenkumham.go.id/v2/berita/377-menkumham-dan-panglima-tni-tandatangani-nota-kesepahaman#sthash.mEuMlBc9.dpuf
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Koran Rakyat, Edisi November 2015

Komentar